Kenangan Gelap Sejarah Tahun 1965 menjadi salah satu masa paling kelam dalam sejarah Indonesia. Pemerintah saat itu, setelah kudeta militer, menuduh siapa pun yang berbeda pendapat sebagai “komunis”. Lebih dari satu juta orang terbunuh dalam waktu singkat, termasuk petani sederhana dan warga keturunan Tionghoa. Tragedi ini bukan sekadar konflik politik, melainkan pembantaian massal yang meninggalkan luka mendalam bagi bangsa. Hingga kini, bayang-bayang kekerasan itu masih menghantui generasi yang hidup setelahnya. Pelaku yang Memerankan Diri Sendiri Keunikan dokumenter The Act of Killing terletak pada keberanian mengajak para pelaku untuk merekonstruksi kembali perbuatan mereka. Anwar Congo dan rekan-rekannya, anggota organisasi paramiliter Pemuda Pancasila, berdiri di depan kamera dan memerankan ulang metode pembunuhan yang dulu mereka lakukan. Mereka bahkan menggunakan kawat yang sama, seolah kembali ke masa silam. Dalam proses ini, muncul pergulatan batin: tawa bercampur ngeri, kebanggaan bercampur rasa bersalah, menghadirkan potret manusia yang kompleks sekaligus menakutkan. Kekerasan dan Budaya Populer Anwar sendiri pernah mengidolakan film gangster Amerika. Kekagumannya pada budaya pop itu ternyata mewarnai cara ia membayangkan kekerasan. Aksi nyata pembunuhan berubah seperti adegan film, di mana kekejaman dianggap hiburan. Dokumenter ini secara tajam memperlihatkan bagaimana budaya, politik, dan kekuasaan berkelindan, membentuk pembenaran atas kekerasan yang mengerikan. Penonton pun dipaksa merenungkan bagaimana sesuatu yang seharusnya tragis bisa dinormalisasi hingga tampak wajar. Refleksi atas Kemanusiaan dan Sejarah The Act of Killing tidak hanya menceritakan ulang tragedi, tetapi juga menjadi cermin yang memaksa kita melihat sisi tergelap manusia. Para pelaku yang awalnya bangga perlahan menunjukkan gejala trauma, seakan sejarah yang mereka coba kubur kembali menghantui. Bagi Indonesia, dokumenter ini membuka ruang diskusi tentang rekonsiliasi, pengakuan, dan keadilan. Bagi dunia, film ini....
もっと読む >